JourneyVertical.com. Pernah nggak kamu lihat seseorang yang badannya kelihatan super fit, ototnya kekar, tapi begitu diajak hiking malah cepat kelelahan? Mungkin kamu juga pernah berpikir, “Lho, dia kan rajin gym, kok ngos-ngosan duluan?”
Nah, ternyata fit di gym belum tentu kuat di gunung. Dunia pendakian punya “aturan main” sendiri yang nggak bisa diukur cuma dari bentuk tubuh. Ada banyak faktor lain yang menentukan apakah seseorang bisa menikmati pendakian atau justru tumbang di tengah jalan.
Yuk, kita bahas satu per satu kenapa banyak orang bertubuh fit justru gagal saat mendaki!
1. Kardio Berbeda dengan Kekuatan Otot

Banyak orang fokus membangun otot di gym, latihan beban, angkat barbel, atau memperkuat bagian tubuh tertentu. Tapi, hiking bukan tentang siapa yang punya otot terbesar, melainkan siapa yang punya daya tahan paling lama.
Saat kamu mendaki, tubuh dipaksa bekerja terus-menerus selama berjam-jam. Trek menanjak, udara menipis, dan beban di punggung (tas carrier) menambah tantangan. Di sini, yang paling diuji bukan otot, tapi kinerja jantung dan paru-paru.
Kalau kamu punya kapasitas kardio yang rendah, sekuat apa pun ototmu, kamu akan cepat kehabisan tenaga.
Itulah kenapa pendaki berpengalaman sering bilang:
“Mendaki itu bukan soal seberapa kuat kamu, tapi seberapa lama kamu bisa bertahan.”
Latihan di gym bisa bantu memperkuat tubuh, tapi kalau tidak diimbangi dengan latihan kardio seperti lari, bersepeda, atau hiking ringan, tubuh akan kesulitan beradaptasi di medan panjang dan menanjak.
Jadi, kalau kamu berencana naik gunung, coba perbanyak latihan kardio dulu. Biasakan tubuhmu bergerak dalam durasi panjang, bukan cuma “meledak” sesaat seperti di gym.
2. Tidak Biasa dengan Ketinggian dan Cuaca Ekstrem
Masalah kedua yang sering bikin pendaki “fit” tumbang adalah ketinggian dan cuaca ekstrem. Di gym, suhu ruangan diatur, udara sejuk, dan oksigennya berlimpah. Tapi di gunung? Semuanya berubah drastis.
Semakin tinggi kamu mendaki, semakin tipis oksigen yang tersedia. Paru-paru dan jantung harus bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan oksigen tubuh. Kalau kamu belum terbiasa, tubuh bisa bereaksi negatif, mulai dari pusing, mual, hingga yang paling parah: Altitude Sickness.
Bahkan atlet profesional pun bisa kena gejala ini kalau tidak terbiasa di ketinggian. Jadi, bukan soal seberapa kuat ototmu, tapi seberapa cepat tubuhmu bisa beradaptasi dengan perubahan tekanan udara.
Belum lagi cuaca di gunung yang sangat tidak bisa ditebak.Dalam satu jam kamu bisa kena panas terik, lalu hujan deras, lalu tiba-tiba kabut tebal. Tubuh yang tidak terbiasa akan kaget dan kehilangan energi untuk menyesuaikan diri. Kalau mentalmu juga belum siap, kombinasi udara tipis dan cuaca ekstrem bisa jadi mimpi buruk.
3. Tantangan di Gym dan di Trek Gunung Itu Beda Banget

Gym dan gunung itu dua dunia yang benar-benar berbeda. Di gym, semua alat dan permukaan lantainya rata, stabil, dan aman. Kamu tahu berapa beban yang kamu angkat, seberapa lama kamu latihan, dan kamu bisa istirahat kapan saja.
Sedangkan di gunung, medan selalu berubah. Kadang berbatu, licin, berpasir, berlumpur, bahkan bisa sangat curam. Satu langkah salah bisa bikin kamu tergelincir atau kehilangan keseimbangan. Di sinilah pentingnya koordinasi, keseimbangan, dan teknik melangkah.
Misalnya, melangkah di tanjakan curam nggak sama dengan berjalan di treadmill. Kamu harus tahu kapan menurunkan kecepatan, kapan istirahat, dan bagaimana mengatur napas agar tetap stabil. Selain itu, beban ransel juga membuat pusat gravitasi tubuh berubah. Kalau kamu tidak terbiasa menyesuaikan posisi tubuh, cepat atau lambat pinggang atau lututmu akan terasa nyeri.
Hiking juga menguji otot-otot kecil yang jarang digunakan di gym, seperti otot stabilizer di pergelangan kaki, betis, dan punggung bawah. Tanpa latihan khusus untuk bagian itu, tubuhmu akan cepat lelah bahkan di pendakian pendek.
Jadi jangan heran kalau orang yang sering “ngegym” malah kalah dari pendaki yang tubuhnya biasa saja tapi sering latihan di alam. Karena ketahanan tubuh di medan alami bukan soal tampilan otot, tapi soal adaptasi gerak dan stamina jangka panjang.
4. Mental Survival Menentukan Segalanya
Kalau kamu pikir hiking hanya soal fisik, kamu salah besar. Justru yang paling menentukan keberhasilan seseorang sampai puncak adalah mental.
Di gunung, ada momen di mana tubuhmu ingin menyerah. Napas tersengal, kaki terasa berat, dan kamu mulai berpikir, “Ngapain sih gue capek-capek kayak gini?”
Nah, saat itulah mental petualang diuji.
Banyak orang berfisik bagus tapi nggak punya mental “anak gunung”. Mereka terbiasa dengan zona nyaman, alat lengkap, lingkungan terkendali, dan bisa berhenti kapan pun mau. Tapi di gunung, kamu nggak bisa “menyerah begitu saja”. Jalan pulang bisa lebih jauh dari puncak, dan cuaca bisa berubah kapan pun.
Mental survival ini yang bikin perbedaan besar. Pendaki berpengalaman tahu bagaimana memotivasi diri sendiri, tetap tenang saat kelelahan, dan berpikir jernih ketika menghadapi masalah, entah itu cuaca buruk, jalan tertutup longsor, atau teman yang sakit.
Mental yang kuat juga membuat kamu lebih peka terhadap tubuh dan lingkungan. Kamu tahu kapan harus berhenti, kapan harus makan, kapan harus menunggu cuaca membaik. Karena di gunung, keputusan kecil bisa berdampak besar.
5. Persiapan yang Salah Kaprah

Sekelompok orang berjalan di jalur pendakian dengan membawa carrier
Satu lagi alasan kenapa orang “fit” bisa gagal di pendakian adalah persiapan yang keliru. Banyak yang terlalu percaya diri, merasa tubuhnya kuat, jadi menyepelekan hal-hal dasar seperti pemanasan, hidrasi, atau bahkan perlengkapan.
Padahal hiking bukan ajang pamer otot, tapi ujian endurance dan ketahanan mental. Mereka yang tidak terbiasa membawa beban di punggung akan cepat kelelahan. Yang tidak cukup minum bisa dehidrasi. Yang tidak terbiasa dengan pola makan di lapangan bisa drop karena kekurangan energi.
Persiapan itu bukan cuma soal fisik, tapi juga strategi dan mindset. Pendaki yang baik tahu bagaimana mengatur ritme jalan, membagi tenaga, hingga memilih pakaian yang tepat agar tidak kedinginan di malam hari. Sementara orang yang hanya mengandalkan kekuatan otot bisa jadi tumbang karena hal sepele seperti masuk angin atau kurang tidur.
6. Hiking Adalah Soal Keseimbangan Tubuh, Pikiran, dan Napas
Pada akhirnya, hiking bukan sekadar olahraga, tapi pengalaman menyeluruh. Kamu nggak cuma melatih otot, tapi juga melatih napas, pikiran, dan rasa sabar.
Gunung mengajarkan kita bahwa kekuatan sejati bukan cuma dari otot yang menonjol, tapi dari tubuh yang lentur, paru-paru yang terlatih, dan pikiran yang tenang.
Maka kalau kamu mau jadi pendaki yang tangguh, mulai dari sekarang:
- Latih kardio dan stamina jangka panjang.
- Biasakan tubuh bergerak di medan tidak rata.
- Jaga pola makan dan tidur.
- Dan yang paling penting: bangun mental petualang.
Karena di gunung, bukan siapa yang paling kuat yang menang, tapi siapa yang paling tahan menghadapi tantangan.
Penutup
Jadi, kalau kamu lihat seseorang yang badannya tidak terlalu kekar tapi bisa santai sampai puncak, jangan heran. Mungkin dia bukan “anak gym”, tapi dia tahu caranya beradaptasi, mengatur napas, dan bertahan dalam kondisi ekstrem. Sementara banyak orang fit justru gagal karena terlalu percaya diri dan tidak siap menghadapi realita di alam.
Hiking bukan lomba otot, tapi perjalanan menemukan keseimbangan diri. Gunung tidak butuh kamu sempurna, dia hanya ingin kamu siap, fisik, mental, dan hati.

