Tel Aviv, 27 Agustus 2025 – Ribuan demonstran kembali turun ke jalan di Tel Aviv, Israel, Selasa (26/8/2025). Mereka mendesak pemerintah Israel segera mengakhiri perang di Gaza, sekaligus menyepakati gencatan senjata untuk memulangkan para sandera yang masih ditahan kelompok Hamas. Aksi besar-besaran ini berlangsung di tengah sidang kabinet keamanan yang digelar di Yerusalem dan menambah tekanan pada pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Sejak pagi, massa memblokir sejumlah jalan utama di jantung pusat komersial Tel Aviv. Mereka membawa bendera Israel, poster bergambar para sandera, dan berbagai spanduk bertuliskan seruan gencatan senjata. Aksi ini tidak hanya menyoroti penderitaan warga Gaza, tetapi juga menuntut pemerintah Israel lebih memprioritaskan keselamatan warganya yang masih ditawan.
Suasana Demonstrasi di Pusat Kota

Kerumunan demonstran memadati beberapa titik strategis. Media lokal melaporkan, selain di jalan utama pusat Tel Aviv, protes juga terjadi di dekat kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat dan di depan rumah sejumlah menteri kabinet.
Menjelang sore, massa semakin membesar dan berkumpul di Lapangan Penyanderaan (Hostage Square), sebuah lokasi yang telah menjadi simbol gerakan protes sejak pecahnya perang pada Oktober 2023. Sejak itu, ratusan keluarga sandera dan simpatisan berkumpul secara rutin untuk menekan pemerintah agar memperjuangkan pembebasan mereka.
Suasana aksi penuh semangat dan emosional. Orang-orang membunyikan klakson, meniup peluit, menabuh drum, hingga meneriakkan yel-yel, “Pemerintah mengecewakan kita, kita tidak akan menyerah sampai semua sandera pulang.”
Seorang demonstran bernama Yoav Vider (29) mengatakan kepada AFP bahwa ia turun ke jalan demi mendesak pemerintah membuat kesepakatan nyata. “Saya di sini terutama untuk menuntut pemerintah segera memulangkan semua sandera dan menghentikan perang yang tidak kunjung berakhir,” ujarnya.
Tekanan Emosional Keluarga Sandera
Kehadiran keluarga para sandera menjadi pusat perhatian dalam aksi ini. Banyak dari mereka membawa foto kerabat yang masih berada di Gaza. Sejak awal perang, isu sandera menjadi luka mendalam bagi publik Israel.
Menurut data terakhir, ratusan warga Israel diculik dalam serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, dan sebagian besar masih ditahan hingga kini. Beberapa telah dibebaskan melalui kesepakatan tukar tahanan yang dimediasi Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat, namun ratusan lainnya belum kembali.
Bagi keluarga, waktu terasa semakin menekan. Mereka khawatir kondisi kesehatan, psikologis, dan keselamatan para sandera semakin memburuk di tengah situasi perang yang berkepanjangan.
“Anak saya mungkin masih hidup di Gaza. Kami tidak tahu apakah dia sehat, apakah dia makan, atau bahkan apakah dia masih bisa bertahan. Itu sebabnya saya berdiri di sini. Pemerintah harus menukar mereka, harus berani membuat kesepakatan,” ujar seorang ibu yang menolak disebutkan namanya dalam wawancara dengan stasiun televisi Channel 12.
Respons Netanyahu: “Perang Akan Berakhir di Gaza”

Meski gelombang protes semakin kuat, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tetap bersikeras mempertahankan strategi militernya. Usai rapat kabinet keamanan, Netanyahu memberikan pernyataan singkat.
“Kami baru saja menyelesaikan rapat kabinet. Saya tidak bisa menjelaskan terlalu banyak detail,” katanya. “Tapi saya akan mengatakan satu hal: ini dimulai di Gaza, dan akan berakhir di Gaza. Kami tidak akan meninggalkan monster-monster itu di sana.”
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa pemerintah Israel tidak berniat menghentikan operasi militernya meskipun tekanan datang dari dalam negeri maupun internasional. Bagi Netanyahu, mengakhiri perang tanpa “menghancurkan Hamas” dianggap sebagai bentuk kelemahan yang bisa membahayakan keamanan Israel jangka panjang.
Namun, sikap keras ini justru memperbesar jurang antara pemerintah dan masyarakat. Sebagian besar demonstran menilai Netanyahu terlalu mengedepankan agenda militer daripada keselamatan warganya yang masih menjadi sandera.
Tekanan Internasional terhadap Israel
Selain desakan domestik, Israel juga menghadapi tekanan global yang semakin besar. Negara-negara sahabat, termasuk Amerika Serikat, kian mendesak Israel untuk menghentikan operasi militer yang sudah berlangsung hampir dua tahun dan menimbulkan korban sipil yang masif di Gaza.
Utusan khusus mantan Presiden AS Donald Trump, Steve Witkoff, mengatakan bahwa Trump akan menggelar pertemuan besar di Gedung Putih pada Rabu (27/8). Pertemuan itu akan membahas rencana pascaperang untuk Gaza. “Ini adalah rencana yang sangat komprehensif yang akan kami susun keesokan harinya,” ujar Witkoff dalam wawancara dengan Fox News.
Selain Amerika Serikat, tekanan datang dari Uni Eropa, PBB, serta sejumlah negara di Timur Tengah. Mereka menilai perang Israel–Hamas telah menimbulkan krisis kemanusiaan terburuk dalam sejarah modern Gaza, dengan ribuan korban jiwa dan jutaan orang terpaksa mengungsi.
Gaza dalam Krisis Kemanusiaan

Data dari lembaga kemanusiaan internasional menunjukkan bahwa kondisi Gaza saat ini sangat memprihatinkan. Infrastruktur sipil seperti rumah sakit, sekolah, dan jaringan listrik hancur parah akibat serangan udara. Pasokan makanan, air bersih, dan obat-obatan semakin langka.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, lebih dari separuh rumah sakit di Gaza tidak lagi berfungsi. Sementara badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) memperkirakan jutaan warga Gaza hidup dalam kondisi pengungsian dengan akses terbatas terhadap kebutuhan dasar.
Situasi ini memperkuat tuntutan dunia internasional agar Israel menghentikan operasi militer dan membuka jalur bantuan kemanusiaan. Namun hingga kini, pemerintah Netanyahu tetap menolak tekanan tersebut dengan alasan keamanan nasional.
Politik Dalam Negeri Israel di Bawah Tekanan
Demonstrasi di Tel Aviv menambah beban politik bagi Netanyahu. Popularitasnya kian merosot sejak perang berkecamuk. Sejumlah survei menunjukkan dukungan publik terhadap pemerintahan koalisi yang dipimpinnya menurun drastis.
Kalangan oposisi memanfaatkan momentum ini untuk menekan pemerintah. Mereka menuding Netanyahu lebih mementingkan kelangsungan karier politiknya daripada keselamatan rakyat Israel. Beberapa anggota parlemen bahkan mendesak pemilu dini sebagai jalan keluar dari krisis politik dan sosial yang semakin dalam.
Gelombang Protes yang Berkelanjutan
Aksi 26 Agustus hanyalah kelanjutan dari serangkaian protes yang telah berlangsung berbulan-bulan. Sejak awal 2024, Tel Aviv menjadi pusat gerakan rakyat yang menuntut gencatan senjata. Lapangan Penyanderaan pun menjadi simbol perjuangan keluarga sandera dan gerakan anti-perang.
Banyak pengamat menilai bahwa jika pemerintah tetap bergeming, demonstrasi akan semakin masif dan berpotensi mengguncang stabilitas politik dalam negeri. Sejumlah kelompok masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis HAM pun mulai bergabung, menjadikan gerakan ini lebih luas dari sekadar tuntutan keluarga sandera.
Dilema Israel: Perang atau Negosiasi
Situasi Israel saat ini memperlihatkan dilema besar. Di satu sisi, pemerintah bertekad mengakhiri ancaman Hamas melalui kekuatan militer. Di sisi lain, masyarakat sipil menuntut jalan damai dengan segera memulangkan sandera.
Jika perang terus berlanjut, risiko korban jiwa di kedua belah pihak akan meningkat, sementara tekanan global semakin besar. Namun, jika pemerintah memilih bernegosiasi dengan Hamas, mereka khawatir dianggap lemah oleh musuh maupun sekutu regional.
Kesimpulan
Demonstrasi besar-besaran di Tel Aviv menandai semakin dalamnya jurang antara pemerintah Israel dan rakyatnya terkait strategi perang di Gaza. Ribuan orang menuntut penghentian perang dan pemulangan sandera, sementara Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bersikeras melanjutkan operasi militer.
Dengan tekanan domestik dan internasional yang kian menguat, masa depan politik Israel berada di persimpangan. Apakah pemerintah akan membuka ruang negosiasi atau tetap bertahan dengan kebijakan militer keras, akan sangat menentukan arah konflik Gaza dan stabilitas kawasan Timur Tengah dalam waktu dekat.