Home » Blog » Kenapa Turun Gunung Justru Lebih Menyakitkan Dibanding Naik? Ini Tipsnya

Kenapa Turun Gunung Justru Lebih Menyakitkan Dibanding Naik? Ini Tipsnya

JourneyVetical.com Kalau kamu pernah mendaki gunung, pasti tahu satu hal yang sering bikin bingung banyak orang: kenapa waktu turun gunung justru terasa lebih menyakitkan dan melelahkan dibanding saat naik?

Padahal kalau dipikir logika sederhana, turun itu kan cuma tinggal melangkah ke bawah, harusnya lebih gampang, bukan?
Nyatanya, tidak sesederhana itu. Banyak pendaki, bahkan yang sudah berpengalaman sekalipun, mengaku kalau fase turun justru bagian paling melelahkan. Lutut sakit, paha gemetar, bahkan ada yang bilang lebih berat dari tanjakan.

Agar tidak penasaran dan lebih paham, mari bahas tuntas alasan kenapa turun gunung bisa terasa jauh lebih berat daripada naik. Sekaligus, kita akan bahas juga beberapa tips agar tubuh tidak tersiksa saat menuruni jalur gunung.

1. Tekanan Berat Tubuh Lebih Banyak ke Lutut dan Kaki

Saat naik, tubuh memang bekerja keras karena harus melawan gravitasi. Namun, saat turun gunung, gravitasi justru menjadi “musuh dalam selimut”.
Bayangkan begini: setiap langkah ke bawah, tubuhmu ditarik oleh gaya gravitasi dan seluruh beban, termasuk carrier dan berat badan, tertumpu di lutut dan engkel.

Kenapa Orang yang Terkena Hipotermia Tidak Boleh Tidur? Ini Alasanny

Menurut penelitian biomekanik, ketika menuruni tanjakan dengan kemiringan sekitar 30 hingga 40 derajat, tekanan pada sendi lutut bisa mencapai tiga hingga lima kali lipat berat badan.
Jadi jika kamu berbobot 70 kilogram, lututmu bisa menerima tekanan hingga 350 kilogram pada setiap langkah.

Tidak heran jika banyak pendaki yang mengeluh lutut nyut-nyutan, paha depan terasa panas, atau kaki gemetar ketika menuruni jalur curam. Itu karena sendi dan otot sedang bekerja ekstra keras untuk menahan beban tubuh agar tidak “terjun bebas”.

2. Gerakan Turun Termasuk “Eccentric Contraction”

Ini bagian yang sering tidak disadari oleh banyak orang.
Ketika naik gunung, otot-otot kita melakukan gerakan concentric contraction, yaitu otot memendek saat bekerja, misalnya ketika menekan ke atas waktu menapaki tanjakan.
Sedangkan saat turun, otot melakukan gerakan eccentric contraction, yaitu otot memanjang sambil tetap menahan beban tubuh.

Gerakan eccentric ini, secara ilmiah, justru lebih membuat otot pegal dan gampang rusak secara mikro.
Itulah sebabnya setelah turun gunung, otot paha depan (quadriceps) sering terasa kaku, nyeri, bahkan seperti “terbakar”.

Namun tenang saja, ini bukan pertanda bahaya. Artinya ototmu sedang beradaptasi terhadap tekanan baru. Jika kamu rutin latihan dan mempersiapkan fisik dengan baik sebelum pendakian, efeknya bisa jauh lebih ringan.

Hipotermia di Gunung: Bahaya Senyap yang Mengintai Pendaki

3. Turun Butuh Konsentrasi Ekstra

Selain fisik, faktor mental juga berpengaruh besar.
Turun gunung bukan hanya soal melangkah, tetapi juga soal fokus dan kendali tubuh.

Kamu harus berhati-hati memilih pijakan, terutama jika jalurnya licin, berbatu, atau curam. Sedikit saja salah perhitungan, kamu bisa terpeleset, jatuh, atau keseleo.
Konsentrasi terus-menerus ini ternyata membuat otak dan tubuh lebih cepat lelah. Otot kaki menegang, refleks bekerja terus-menerus, dan sistem saraf selalu siaga untuk menjaga keseimbangan.

Inilah sebabnya banyak pendaki yang merasa bagian paling melelahkan bukan hanya kaki, tetapi juga pikiran. Turun gunung butuh fokus tinggi dan kestabilan tubuh yang baik.

4. Risiko Tergelincir dan Cedera Lebih Tinggi

Turunan memang menipu. Terlihat lebih mudah, tetapi sebenarnya lebih berbahaya. Ketika tubuh bergerak menurun, kecepatan alami akan meningkat karena tarikan gravitasi. Jika otot tidak cukup kuat untuk menahan laju itu, risiko tergelincir menjadi lebih besar.

Refleks otomatis tubuh pun bekerja untuk menjaga keseimbangan, terutama pada otot betis, paha, dan punggung bawah. Namun jika berlangsung lama, otot-otot ini akan cepat kelelahan dan tegang.

Mengatasi Hipotermia: Cara Cerdas Menyelamatkan Diri dari Dingin yang Mematikan

Kondisi jalur juga sangat berpengaruh. Jalur berpasir, berbatu, atau basah membuat tekanan semakin berat karena kamu harus lebih sering menahan langkah agar tidak jatuh. Tidak heran jika banyak pendaki pemula merasa bagian paling menegangkan justru saat menuruni punggungan gunung atau tanjakan batu yang licin.

5. Tubuh Sudah Kelelahan dari Perjalanan Naik

Ini alasan paling sederhana, tetapi sering terlupakan.
Ketika kamu turun gunung, tubuhmu sudah kelelahan terlebih dahulu. Energi terkuras, otot sudah bekerja keras selama perjalanan naik, bahkan mungkin kamu kurang tidur atau kurang makan.

Jadi, walaupun jalur menurun terlihat lebih mudah, sistem tubuhmu sebenarnya sudah berada di titik lelah. Akibatnya daya tahan fisik menurun, koordinasi otot tidak sebaik sebelumnya, dan rasa sakit terasa lebih parah.

6. Faktor Sepatu dan Teknik Turun yang Salah

Banyak pendaki mengalami nyeri atau cedera saat turun bukan karena jalur, melainkan karena teknik yang salah atau sepatu yang kurang tepat.

Beberapa kesalahan umum antara lain:

  • Langkah terlalu panjang, sehingga tekanan pada lutut meningkat.
  • Posisi tubuh terlalu tegak atau condong ke belakang, membuat keseimbangan sulit dijaga.
  • Sepatu dengan grip buruk, yang mudah selip di tanah atau batu.

Turun gunung tidak bisa asal cepat. Jika ingin aman dan nyaman, kamu perlu tahu teknik menuruni tanjakan dengan cara yang benar.

Tips Supaya Turun Gunung Tidak Terlalu Menyakitkan

Setelah tahu penyebabnya, sekarang saatnya mencari solusi agar kamu tidak tersiksa saat turun gunung. Berikut beberapa tips praktis yang bisa kamu terapkan.

1. Gunakan Trekking Pole

Trekking pole atau tongkat hiking bukan sekadar aksesori. Alat ini bisa mengurangi tekanan di lutut hingga 25 hingga 30 persen.
Gunakan dua tongkat dan atur panjangnya sedikit lebih pendek dari posisi normal ketika menuruni jalur. Pegang dengan rileks dan manfaatkan untuk menahan beban tubuh di setiap langkah.

2. Langkah Pendek dan Ritmis

Jangan memaksa melangkah jauh atau cepat.
Gunakan langkah pendek tapi stabil. Selain menghemat tenaga, langkah pendek membantu distribusi beban lebih merata ke kaki dan sendi.
Jika jalur curam, coba turun dengan pola zig-zag untuk mengurangi tekanan langsung pada lutut.

3. Jaga Postur Tubuh

Posisikan tubuh sedikit condong ke depan, bukan tegak atau terlalu miring ke belakang.
Jika terlalu tegak, pusat gravitasi tubuh akan tidak seimbang dan kamu lebih mudah terpeleset.
Sedikit condong ke depan justru membantu kaki menahan beban dengan lebih stabil.

4. Gunakan Sepatu dengan Grip yang Baik

Sepatu gunung dengan tapak yang kuat dan fleksibel bisa menjadi penyelamat.
Pastikan sol-nya mencengkeram tanah dengan baik, terutama jika jalur lembap atau licin.
Selain itu, pilih sepatu yang pas di kaki agar tidak menimbulkan gesekan atau lecet selama perjalanan turun.

5. Latih Otot Sebelum Pendakian

Jika ingin benar-benar nyaman saat turun gunung, latih dulu otot paha depan, lutut, dan betis.
Beberapa latihan sederhana tapi efektif antara lain:

  • Squat dan wall sit untuk memperkuat otot quadriceps.
  • Lunges untuk melatih keseimbangan dan kekuatan kaki.
  • Step down atau stair training untuk simulasi gerakan turun gunung.

Latihan ini bisa kamu lakukan dua hingga tiga kali seminggu tanpa perlu alat tambahan. Setelah beberapa minggu, kamu akan merasa jauh lebih stabil saat menuruni jalur gunung.

6. Jaga Fokus dan Ritme

Turun gunung butuh fokus tinggi. Jangan terlalu terburu-buru.
Ambil waktu untuk istirahat setiap 20 hingga 30 menit, minum air yang cukup, dan jaga ritme napas tetap teratur.
Lebih baik lambat tapi aman, daripada cepat namun harus ditandu karena cedera.

Turun gunung memang terlihat mudah, tetapi faktanya justru lebih menantang secara fisik dan mental. Gravitasi, tekanan di lutut, otot yang bekerja secara eksentrik, risiko tergelincir, dan kondisi tubuh yang sudah lelah, semuanya berkontribusi membuat fase turun terasa lebih berat daripada mendaki.

Namun kabar baiknya, dengan persiapan fisik yang baik, teknik yang benar, serta alat pendukung seperti trekking pole dan sepatu yang tepat, kamu bisa menurunkan risiko nyeri dan cedera secara drastis.

Jadi, ketika kamu bersiap untuk pendakian berikutnya, jangan hanya fokus melatih stamina untuk tanjakan.
Latih juga kekuatan dan kontrol otot untuk turunan. Karena pendakian yang baik bukan hanya soal mencapai puncak, tetapi juga bagaimana kamu turun dengan aman dan bahagia.