Home » Blog » Kenapa Sulit Tidur di Tenda? Padahal Besoknya Mau Summit!

Kenapa Sulit Tidur di Tenda? Padahal Besoknya Mau Summit!

JourneyVertical.com. Bagi para pendaki, malam sebelum summit adalah momen yang penuh campuran antara antusiasme, lelah, dan harapan. Setelah seharian mendaki dengan punggung pegal dan kaki yang mulai berat, seharusnya waktu istirahat di tenda jadi kesempatan untuk mengisi energi. Tapi kenyataannya? Banyak pendaki justru sulit tidur di malam sebelum puncak.

Entah sudah berapa kali kita dengar cerita yang sama, “Padahal sudah capek banget, tapi di tenda malah nggak bisa tidur.” Kenapa bisa begitu? Yuk, kita bahas dengan gaya santai tapi tetap penuh makna.

1. Asyik Ngobrol Hingga Lupa Waktu

Salah satu hal paling menyenangkan saat mendaki gunung adalah momen kebersamaan di dalam tenda. Setelah melewati jalur panjang, udara dingin, dan beban di pundak, akhirnya bisa duduk melingkar di tenda, menyeduh minuman hangat, lalu mulai bercerita.

Topiknya bisa apa saja, dari kisah lucu di perjalanan, pengalaman naik gunung sebelumnya, curhat pribadi, sampai obrolan ringan soal hidup. Suasana hangat di dalam tenda terasa seperti tempat yang aman dan nyaman untuk saling terbuka.

Manajemen Istirahat di Gunung: Kunci Bertahan dan Tetap Kuat Sampai Puncak

Namun, di balik kehangatan itu, ada satu hal yang sering terlupakan: waktu.
Tanpa disadari, jam sudah menunjukkan tengah malam, bahkan lewat. Saking serunya ngobrol, pendaki lupa kalau tubuh sebenarnya butuh istirahat agar fit saat summit attack keesokan paginya.

Tidak jarang, tawa lepas dan obrolan panjang berubah jadi penyesalan pagi hari, saat alarm berbunyi, mata masih berat, dan tubuh terasa lemas.

Jadi, seseru apa pun momen di tenda, penting banget untuk tetap mengatur waktu tidur. Cobalah pasang alarm pengingat, misalnya jam 9 atau 10 malam, sebagai tanda “waktu istirahat.” Gunakan obrolan santai itu sebagai pemanas suasana, tapi jangan sampai mengorbankan tenaga untuk esok hari.

2. Suhu Dingin Ekstrem yang Menusuk

Kalau sudah pernah bermalam di gunung, pasti tahu rasanya: suhu yang makin turun seiring malam datang. Bahkan di ketinggian menengah seperti 2.000–3.000 mdpl saja, udara malam bisa turun di bawah 10°C, apalagi di atas 3.500 mdpl.

Tenda yang tipis dan sleeping bag kadang tidak cukup melawan hawa dingin yang menembus sampai ke tulang. Tangan dan kaki terasa beku, napas menguap di udara, dan posisi tidur pun serba salah.
Alih-alih terlelap, banyak pendaki malah sibuk menggulung diri, menambah lapisan jaket, atau menutup kepala dengan buff.

Jangan Remehkan Air Gunung. Kesalahan Kecil Bisa Jadi Bencana Besar di Ketinggian

Udara dingin ekstrem memang menjadi penyebab utama sulit tidur di tenda.
Tubuh manusia butuh suhu yang stabil untuk bisa beristirahat dengan nyaman. Saat suhu terlalu dingin, tubuh justru aktif menghasilkan panas, membuat jantung berdetak lebih cepat dan otak tetap “waspada”, kondisi yang berlawanan dengan tidur.

Ada beberapa trik agar bisa tidur lebih nyenyak meski udara membeku:

  • Gunakan alas tenda atau matras tebal. Jangan biarkan tubuh langsung menempel tanah karena suhu dari bawah bisa lebih dingin dari udara.
  • Gunakan sleeping bag sesuai rating suhu. Pilih sleeping bag dengan comfort rating sesuai ketinggian gunung.
  • Kenakan pakaian hangat berlapis. Gunakan long john, jaket bulu, kaus kaki tebal, dan tutup kepala.
  • Minum sesuatu yang hangat sebelum tidur. Tapi hindari kopi atau teh karena bisa bikin sulit tidur.

Dingin memang tidak bisa dihindari, tapi bisa dikelola. Pendaki yang siap dengan perlengkapan hangat biasanya bisa tidur lebih cepat dan nyaman.

3. Antusiasme Menjelang Puncak

Ada satu alasan yang mungkin tidak disangka tapi sangat kuat: semangat dan rasa penasaran sebelum summit.

Basah-Basahan di Gunung, Apa Serunya Mendaki Saat Musim Hujan?

Coba ingat perasaanmu sebelum hari penting, entah itu ujian, wawancara kerja, atau perjalanan besar. Biasanya sulit tidur, kan? Nah, sama halnya dengan malam sebelum summit.

Pendaki biasanya diliputi campuran antara semangat, deg-degan, dan rasa tak sabar untuk segera menjejak puncak. Dalam pikiran, sudah terbayang pemandangan matahari terbit dari ketinggian, jalur terjal yang menantang, atau bahkan rasa bangga ketika akhirnya berdiri di titik tertinggi.

Emosi semacam itu bisa memicu hormon adrenalin dan kortisol, hormon yang membuat tubuh tetap terjaga. Akibatnya, meskipun mata lelah dan tubuh ingin istirahat, otak justru tetap aktif memutar bayangan tentang perjalanan ke puncak.

Bahkan, ada yang sampai bolak-balik membuka tenda, mengecek langit, atau mempersiapkan peralatan berulang kali karena saking semangatnya.

Untuk mengatasinya, cobalah beberapa tips berikut:

  • Siapkan perlengkapan summit sejak sore. Dengan begitu, kamu tidak perlu gelisah atau memikirkan hal-hal yang belum siap.
  • Tenangkan pikiran sebelum tidur. Tarik napas panjang, dengarkan suara alam, atau lakukan peregangan ringan.
  • Fokus pada tujuan: tidur cukup agar punya tenaga. Ingat, antusiasme yang berlebihan tanpa istirahat justru bisa jadi penghambat saat menuju puncak.

4. Suasana Tidur yang Berbeda

Meski terdengar sepele, faktor kenyamanan juga berpengaruh besar. Tidur di tenda bukan seperti tidur di rumah, permukaannya tidak rata, ruangnya sempit, dan suara alam sering kali membuat sulit benar-benar tenang.

Ada yang terganggu dengan suara angin kencang, ada yang gelisah karena suara serangga atau hujan di luar tenda. Bahkan, suara gesekan jaket teman sebelah saja bisa terasa keras di tengah malam sunyi.

Selain itu, posisi tidur di sleeping bag biasanya membuat tubuh agak kaku dan terbatas bergerak.
Tidur miring, terlentang, atau berguling pun susah dilakukan. Belum lagi kalau satu tenda diisi beberapa orang, kadang ruangan jadi sempit dan terasa pengap.

Hal-hal kecil ini bisa mengganggu kualitas tidur.

Namun, bukan berarti tidak bisa diatasi. Beberapa cara sederhana bisa membantu tubuh lebih cepat beradaptasi:

  • Pilih tempat mendirikan tenda yang rata dan tidak berbatu.
  • Gunakan bantal tiup kecil atau jaket yang dilipat sebagai alas kepala.
  • Coba gunakan penutup telinga atau earplug kalau kamu sensitif terhadap suara.
  • Latihan tidur di sleeping bag sebelum mendaki. Kedengarannya lucu, tapi ini bisa membantu tubuh menyesuaikan diri dengan posisi tidur yang terbatas.

Semakin sering kamu mendaki, tubuh dan pikiranmu akan semakin terbiasa dengan suasana tidur di alam. Akhirnya, tenda bukan lagi tempat “tidak nyaman,” tapi justru jadi rumah sementara yang penuh kenangan.

5. Kombinasi dari Semua Faktor

Kenyataannya, alasan sulit tidur di tenda sering kali bukan cuma satu, tapi gabungan dari semua hal di atas.
Sedikit ngobrol berlebihan, udara dingin, pikiran penuh antusiasme, dan suasana baru, semuanya berpadu jadi resep sempurna untuk insomnia versi pendaki.

Tapi itu juga bagian dari pengalaman mendaki itu sendiri.
Malam tanpa tidur di gunung sering kali justru jadi momen paling berkesan, tawa yang meledak di tengah malam, aroma kopi hangat di udara dingin, dan rasa kebersamaan yang tak tergantikan.

Yang penting, jangan biarkan kurang tidur mengganggu keselamatan dan performa saat summit. Jika kamu tidak bisa tidur nyenyak, cobalah tetap rebahan dan istirahatkan tubuh. Kadang, meski mata tidak benar-benar terpejam, tubuh tetap bisa memulihkan sebagian energi.

Penutup: Nikmati Setiap Momennya

Tidur di tenda memang tidak selalu mudah. Tapi di situlah letak pesonanya.
Kamu belajar beradaptasi dengan alam, memahami batas tubuh sendiri, dan menghargai hal-hal sederhana, seperti kehangatan, keheningan, dan kebersamaan.

Jadi, kalau suatu malam di gunung kamu sulit tidur, jangan terlalu khawatir.
Anggap saja itu bagian dari cerita pendakianmu, kisah kecil yang nanti akan kamu ceritakan dengan senyum: “Waktu itu, semalaman nggak bisa tidur karena kedinginan dan ngobrol terus, tapi pagi-paginya tetap semangat buat summit.”

Karena sejatinya, gunung bukan hanya tentang mencapai puncak.
Tapi juga tentang menikmati setiap detik perjalanan, termasuk malam panjang di dalam tenda, di bawah langit penuh bintang.